Rabu, 25 April 2012
Selasa, 17 April 2012
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana
belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam
yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru
saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak
diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama
yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain
berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam
mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru.
Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di
Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang
pensiun.
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan
di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi
penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu
terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak
masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti
kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan
ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl
Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden
memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam
rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu :
1) Langkah
pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses
terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak
ukurnya dari angka partisipasi.
2) Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
3) Langkah
ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi
guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian
nasional.
4) Langkah
keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang
kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap
pakai yang dibutuhkan.
5) Langkah
kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah
jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
6) Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7) Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8) Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.Aspek ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.Pengembangan pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah, menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
Iseng iseng membuka google Baca juga artikel yang saya konteskan dengan keyword Kebaya Pengantin Kebaya Pesta Baju Pengantin Pesta Modern & Tradisional By KebayaPengantinValentino.com dan juga Tips Menemani Anak Belajar yang sudah saya ulas di Otakku
Fungsi Evaluasi dalam Pendidikan dan Tujuannya
Fungsi Evaluasi dalam Pendidikan dan Tujuannya
Evaluasi sebagai suatu proses pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu :
1. Untuk memberikan umpan balik (feed back) kepada guru sebagai dasar untuk memperbaiki proses belajar mengajar.
2. Untuk menentukan angka kemampuan/hasil belajar masing-masing murid yang antara lain diperlukan kenaikan kelas dan penentuan lulus tidaknya murid.
3. Untuk menentukan murid dalam situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat kemampuan.
4. Untuk mengenal latar belakang (psikologi fisik dan lingkungan) murid yang mengalami kesulitan belajar.
Sehubungan dengan keempat fungsi yang dikemukakan di atas, Evaluasi Hasil Belajar (EHB) dapat digolongkan atas empat jenis :
1. Evaluasi Formatif : Evaluasi yang dilaksanakan untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh anak didik setelah menyelesaikan program dalam satuan bahan pelajaran pada bidang studi tertentu.
2. Evaluasi Sumatif : Evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar murid yang telah selesai mengikuti pelajaran dalam satu catur wulan, semester atau akhir tahun.
3. Evaluasi Penempatan : Yang dilaksanakan untuk keperluan menempatkan murid pada situasi belajar mengajar yang tepat, sesuai dengan tingkat kemampuan/karakteristik lain yang dimilikinya.
4. Evaluasi Diagnostik : Yang dilaksanakan untuk keperluan mengenal latar belakang (psikologi fisik, lingkungan) dari murid yang mengalami kesulitan-kesulitan belajar.
Sasaran Evaluasi
Sasaran Evaluasi Pendidikan
Adapun beberapa sasaran evaluasi pendidikan adalah sebagai berikut :
1. Input
Input merupakan aspek yang bersifat
rohani yang setidak-tidaknya mencakup empat hal yaitu: Kemampuan, Kepribadian,
sikap dan inteligensi.
2. Transformasi
Unsur-unsur dalam transformasi yang
menjadi objek penilaian meliputi: kurikulum atau materi, metode dan cara
penilaian, sasaran pendidikan/media, sistem administrasi, guru dan personal
lainnya.
3. Output
Penilaian terhadap lulusan suatu
sekolah dilakukan untuk mengetahui sebeapa jauh tingkat pencapaian/prestasi
belajar mereka selama mengikuti program. Alat yang digunakan untuk mengukur
pencapaian ini disebut tes pencapaian atau achievement test.
Prinsip dan Alat Evaluasi
Ada satu prinsip umum dan penting
dalam kegiatan evaluasi, yaitu adanya triangulasi atau hubungan erat ketiga
komponen yaitu antara tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran/KBM dan
evaluasi.
Dalam pengertian umum, alat adalah
sesuatu yang dapat digunakan untuk mempermudah seseorang dalam melaksanakan
tugas atau mencapai tujuan lebih efektif dan efisien. Dengan pengertian
tersebut maka alat evaluasi dapat dikatakan baik apabila mampu mengevaluasi
suatu yang dievaluasi dengan hasil seperti keadaan yang dievaluasi. Dalam
menggunakan alat tersebut evaluator menggunakan cara/tehnik, dan oleh karena
itu dikenal dengan tehnik evaluasi. Ada dua tehnik dalam evaluasi, yaitu tehnik
tes dan non tes.
Ciri-ciri tes yang baik
Sebuah tes yang dapat dikatakan baik
sebagai alat pengukur harus memilki persyaratan tes, yaitu memiliki :
a. Validitas
Sebuah tes disebut valid apabila tes
tersebut dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur. Contoh, untuk mengukur
partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar, bukan diukur melalui nilai
yang diperoleh pada waktu ulangan, tetapi dilihat melalui: kehadiran,
terpusatnya perhatian pada pelajaran, ketepatan menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan oleh guru dalam arti relevan pada permasalahannya.
b. Reliabilitas
Berasal dari kata asal reliable yang
artinya dapat dipercaya. Tes dapat dikatakan dapat dipercaya jika memberikan
hasil yang tetap apabila diteskan berkali-kali. Sebuah tes dikatakan reliabel
apabila hasil-hasil tes tersebut menunjukan ketetapan. Jika dihubungkan dengan
validitas, maka: Validitas adalah ketepatan dan reliabilitas adalah ketetapan.
c.Objektivitas
Sebuah dikatakan memiliki
objektivitas apabila dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor subjektif yang
mempengaruhi. hal ini terutama terjadipada sistem scoringnya. Apabila dikaitkan
dengan reliabilitas maka objektivitas menekankan ketetapan pada sistem
scoringnya, sedangkan reliabilitas menekankan ketetapan dalam hasil tes.
d. Prakitikabilitas
Sebuah tes dikatakan memiliki
praktibilitas yang tinggi apabila tes tersebut bersifat praktis dan mudah
pengadministrasiannya. tes yang baik adalah yang: mudah dilaksanakan, mudah
pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.
e. Ekonomis
Yang dimaksud ekonomis disini ialah
bahwa pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos atau biaya yang mahal,
tenaga yang banyak, dan waktu yang lama.
Makna Evaluasi Pendidikan
Makna Evaluasi Pendidikan
Evaluasi berarti pengumpulan
kenyataan secara sistematis untuk menetapkan apakah dalam kenyataannya terjadi
perubahan dalam diri siswa dan menetapkan sejauh mana tingkat perubahan dalam diri
pribadi siswa.
Evaluasi Pendidikan adalah kegitan menilai yang terjadi dalam
kegiatan pendidikan. Bertujuan melakukan evaluasi dalam proses belajar mengajar
untuk mendapatkan informasi akurat mengenai tingkat pencapaian tujuan
instruksional oleh siswa sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya.
Evaluasi pendidikan dapat diartikan
sebagai pengukuran atau penilaian hasil belajar-mengajar, padahal antara
keduanya punya arti yang berbeda meskipun saling berhubungan. mengukur adalah
membandingkan sesuatu dan satu ukuran (kuantitatif), sedangkan menilai berarti
mengambil satu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk
(kualitatif). Adapun pengertian evaluasi meliputi keduanya.
Meskipun sekarang memiliki makna
yang lebih luas, namun pada awalnya pengertian evaluasi pendidikan selalu
dikaitkan dengan prestasi belajar siswa. seperti definisi yang pertama
dikembangkan oleh Ralph Tyler (1950) beliau mengatakan, bahwa evaluasi
merupakan proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan
bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum
ada dan apa sebabnya. Untuk definisi yang lebih luasdikemukakan oleh dua orang
ahli lain yaitu Cronbach dan Stufflebeam, definisi tersebut adalah bahwa proses
evaluasi bukan sekedar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan
untuk membuat keputusan.
Dalam dunia pendidikan,khususnya dunia persekolahan,
penilaian mempunyai makna ditinjau dari berbagai segi :
Makna bagi siswa
Dengan diadakannya penilaian, maka
siswa dapat mengetahui apakah dia telah berhasil mengikuti pelajaran yang telah
diberikan oleh guru. Hasil yang diperoleh siswa dari pekerjaan menilai ini ada
dua kemungkinan, memuaskan atau tidak memuaskan.
b. Makna bagi guru
Dengan hasil penilaian yang
diperoleh guru akan dapat mengetahui siswa mana yang sudah berhak melanjutkan
pelajarannya karena sudah berhasil menguasai bahan, maupun mengetahui siswayang
belum berhasil menguasai bahan. Dengan petunjuk ini guru dapat lebih memusatkan
perhatiannya pada siswayang belum berhasil. Apalagi jika guru tahu
sebab-sebabnya.
c. Makna bagi sekolah
Apabila guru-guru mengadakan penilaian dan
diketahui bagaimana hasil belajar siswa-siswanya,dapat diketahui pula apakah
kondisi belajar yang diciptakan sekolah sudah sesuai harapan atau belum, karena
hasil belajar merupakan cermain kualitas suatu sekolah
Senin, 16 April 2012
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan
yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik
untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan
sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru,
instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan
pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan
melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya
adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan
pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan
pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak
mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini
merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas
pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu
apa tujuan kita.
Selama
ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya
menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia.
Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang
terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi
dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah
yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah.
Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan
diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan
hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam
pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai
kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan
menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan
peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan
minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan
sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan
rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien
adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan
proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik
jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa
melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika
kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan
prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah
disepakati.
Beberapa
masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar
dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan
di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya
manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah
mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi
kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah
jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education.
Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal
itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup
tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika
kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal
atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang
properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya
transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang
kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah
diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak
hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat
tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu
diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada
pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain
masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah
waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa
pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan
negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada
sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan
diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena
ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan
formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik
yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis,
bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan
yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya
mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang.
Selain
itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu
pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta
didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil
pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang
kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai
dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan,
yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi
jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal
lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran
dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta
didik.
Sistem
pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita
berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam
beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan
kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang
pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga
kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti
cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih
dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat
disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran
efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih
efektif.
Konsep
efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan
secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika
masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal.
Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi
ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas
keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan.
Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau
harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep
efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan
bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat
dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan
dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien
cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber
pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang
efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara
penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya
pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika
kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya
setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia
pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat
terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam
dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus
dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi
standar.
Seperti
yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan
formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan
kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di
dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru
untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan
Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan
terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh
standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan
tersebut.
Peserta
didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai
standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil
efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar
memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang
terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal
seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal
itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain
itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar
pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang
hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem
evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah
evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta
didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat
proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan
selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti
itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang
studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak
hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan
sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di
dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih
dalam lagi
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas
yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita
menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita
mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan
di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain
beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini
akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1) Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih
banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data
Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052
lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang
kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12%
berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan
sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI
diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih
buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs,
SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
2) Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan
guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan
itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun
2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak
mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12%
(negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73%
(swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26%
(swasta).
Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2
juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan
ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang
berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah
menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke
atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang
berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun
guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil
sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih
rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3) Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas
pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen
Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima
gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan
guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan
pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan
pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les
pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli,
2005).
Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS)
agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan
yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi,
kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan
masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari
2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak
sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU
Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
4) Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak
memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan
di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini
prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam
hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas
manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang
berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini
Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam
skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan
ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain
itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38
negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada
urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan
tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di
asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu
menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5) Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data
Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM)
untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa).
Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni
Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara
itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan
pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan
sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi
masalah ketidakmerataan tersebut.
6) Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data
Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus
sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika
peserta didik memasuki dunia kerja.
7) Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan
lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk
masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA
bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin
mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di
Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan
mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang
merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah
Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi
ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan
(RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar.
Dengan perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan
tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum
yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa
contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak
pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi
atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak
lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya,
sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban.
Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari
APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan
dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan
dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang
Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau
satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat
berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti
halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education
Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai
bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah
melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab
penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah
memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan
pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya
untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang
kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan
masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal
senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah
dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui
Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah
berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan
menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya
sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Bagi
masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di
Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara
berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya
pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal
keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk
‘cuci tangan’.
2.4 Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama,
solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan
sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem
pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem
ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,
termasuk pendanaan pendidikan.
Maka,
solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut
perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru,
dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem
ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem
pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam.
Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan
sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan
menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua,
solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan
masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka,
solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya
praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya
kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan
untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya,
diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi
pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan,
dan sebagainya.
Langganan:
Postingan (Atom)